Rabu, 10 Juli 2013

Lautan Di Daratanku


Seorang ibu tampak sedang berkomunikasi dengan seseorang melalui telepon genggamnya, sepertinya sedang berbicara dengan anaknya.
“Iya nih, ibu masih di jalan nak. Jalanannya macet banget. Padahal ibu udah pulang agak sorean biar bisa pulang lebih awal. Eeehhh,... taunya sama aja. Malah mungkin lebih malam dari biasanya nanti sampai rumah”
Ibu tersebut terdiam sejenak mendengar suara  yang berada di seberang sana.
“Iya deehh, ibu nanti telpon kalo udah di depan gang. Kamu makan aja duluan ya, assalamu’alaikum”
Tak lama kemudian, komunikasi mereka pun terputus. Ibu tersebut tampak sedikit resah karena ia merasa sudah terlalu lama berada di perjalanan.

Di sudut lainnya, aku melihat seorang bapak yang tampak gelisah. Sesekali ia menggerakkan kakinya, kemudian menatapi jam tangannya. Saat itu ia merasa jarum jamnya bergerak terlalu cepat. Kemudian, ia mencoba menengok keluar jendela melihat suasana di sekitar. Setelah mengetahui situasinya, ia segera menggaruk – garuk kepala dan kembali menatapi jam tangannya. Lalu, ia mendenguskan nafas pertanda sebuah keluhan, “Fuuuhhhhh.....”.

Seorang anak muda berpakaian kemeja putih dengan motif garis – garis hitam duduk dekat pintu keluar. Diantara penumpang lainnya, pemuda ini tampak paling rapi. Rambutnya yang tertata rapi, tangannya yang memegang sebuah tas hitam, matanya yang berkacamata serta sepatu pantofel yang ia kenakan mencerminkan apa pekerjaannya saat ini. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia mencoba memilih alternatif lain.
“Bang sampai di sini aja deh, nih uangnya, makasih bang”, ucap pemuda tersebut kepada supir angkutan umum.
Sang supir pun segera menerima selebaran uang dua ribuan dari sang pemuda.

Di luar jendela aku melihat beberapa pengendara yang kesulitan menyalakan motornya. Beberapa juga ada yang menuntunnya. Aku juga melihat supir angkutan umum di sebelah mobil yang aku tumpangi sedang bertopang dagu. Kulihat penumpangnya kosong. Mungkin ia berpikir,” Kalau macet gini, gimana mau dapat setoran banyak nih”.

Aku dan enam penumpang lainnya masih bersabar menunggu kemacetan ini sirna. Ya, semua yang diceritakan tadi adalah kondisi kami para penumpang yang sedang berada dalam angkutan umum menuju ke tempat tujuan kami masing – masing. Sore itu, hujan turun cukup deras di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Aku melakukan perjalanan dari Depok menuju rumahku di daerah Ciledug sore itu. Saat aku pulang, hujan juga sedang mengguyur kota Depok. Sejauh perjalananku dari Depok hingga Lebak Bulus, masih seperti biasa. Bahkan bagiku terbilang cukup lengang karena terdapat kemacetan berkurang di beberapa titik. Pikirku, kondisi ini terjadi karena situasi sedang hujan sehingga orang malas berkendara.
Memasuki wilayah Deplu, Petukangan Utara dekat wilayah Universitas Budi Luhur, keramaian kendaraan mulai terlihat. Setelah angkutan umum yang ku tumpangi mencoba melaju ternyata terdapat banjir yang cukup dalam di wilayah tersebut. Beberapa pengendara motor terpaksa harus memutar balik meskipun ada juga yang nekat hingga motornya pada akhirnya tetap harus ia tuntun. Alhamdulillah, banjir ini masih bisa dilewati oleh angkutan umum yang ku tumpangi.
Keluar Deplu, angkutan umum yang kami tumpangi lanjut berpetualang di jalan Ciledug Raya. Sebuah jalan yang menjadi akses utama orang Ciledug ketika ingin berpergian dari dan ke Jakarta. Apa yang terjadi kemudian, tak sesuai bayangan. Dalam waktu 30 menit, kami hanya mampu menempuh beberapa meter. Kendaraan roda empat atau lebih benar – benar terjebak. Paling – paling, kendaraan roda dua yang masih sibuk menyalip di sisi kanan dan kiri mobil. Menurut informasi yang aku terima, ternyata banjir juga melanda wilayah Puri Beta. Jelas sekali, bahwa akibat kejadian ini bakal ada kemacetan panjang malam ini.
Entah siapa yang harus disalahkan, musibah seperti ini seakan terus menghantui daerah  ibukota dan sekitarnya. Daratan yang kini dihiasi bangunan gedung yang semakin banyak jumlahnya. Lahan hijau yang mulai menghilang. Drainase yang buruk. Kebiasaan individu yang tak peduli. Dan berbagai faktor lainnya. Aku tau, ini sulit. Namun aku masih yakin, ini bisa dirubah walaupun memakan waktu yang lama.
Aku kasihan melihat ‘daratan’ yang semakin hari hanya dijadikan sebuah tempat berpijak untuk memenuhi hasrat individu. Aku tahu ‘daratan’ juga ingin memberi kesejukan seperti air melalui pepohonan. Dan aku tahu, para pepohonan juga rindu akan banyaknya air yang mampu ia serap dari air dalam tanah. Aku tau, ‘lautan’ sebenarnya hanya bingung ke mana lagi ia harus berjalan. Kini, ia kesulitan menemukan tempat untuk berhenti. Ia terus dan terus mengalir ke segala penjuru karena tiada tempat yang tepat untuk disinggahi. Kami tahu ini bukan salahmu. Beri kami kesempatan untuk mengubah ini. Kau tahu ‘lautan’, kami lebih senang melihatmu di laut lepas sana. Kami tidak ingin melihat ‘lautan’ di ‘daratan’ kami.

Lautan di Daratanku”

Created by KriboKriwil, Jum’at 19 April 2013 pukul 1:05

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com